Reviews

The Woman in Black by Susan Hill

eobehrens's review against another edition

Go to review page

2.0

I thought I was getting a frightening ghost story. Instead I got a dud. The language used was very eloquent, which is indicative on the writing style for the period in which the story is set.

korrick's review against another edition

Go to review page

3.0

3.5/5

I make a habit of not watching the based on movie before reading the propagating book, so the fact that I’m reading not one but two of said unfortunate works (A Clockwork Orange sneaking in during my youth due to college fanboys and the like) is not something I plan on ever happening again. However, it happened, and I will not lie that my expectations have been adjusted accordingly.

While the book is horror, the movie is horror horror horror, tragic past combined with morbidly saturated cinematography sprinkled with heart-stopping pop-outs galore. The facts are there, but the plot is vastly different, one phrase of the book playing a much larger role and, indeed, the setting the mood and thematic content for the entirety. In short, the book is nicer, and while I don't agree with the Jane Austen comparison at all, I did admire the spectrum of emotions and thoughts the main character experienced; an authorial sensitivity to human psychology at both the highs and the lows that you don't often come across in literature as a whole.

The balance between cheerful normality and burgeoning dread was well developed one, but ended up sacrificing the more poignant extremes of the movie horrors for its focus on stability. I wasn't a fan of being scared out of my wits every five minutes, but as it is horror, and there were certain masterfully handled cinematic scenes that I was disappointed to not discover in the book, I could have handled a little more thrills and chills. Other reviews have spoken of Hill's talent at writing mood, and while I do emphatically agree with that, I'm someone who's childhood reading was half Tolkien and half Stephen King. If you want to scare me via paper these days, you need to provide a little more visceral imagery than descriptions of internal panic and full bodied terror. Accurate replication of the feelings of fear are all very well, but real terror will strike only when you give me something physical to envision
Spoiler, a movie favorite of mine being the main character stepping up to a window, our view from the opposite side allowing us, and only us, to watch with horror the ghostly visage coming up alongside him. That scene sold me on the trailer, and later on the movie as a whole
.

However. Neither the book nor the movie end well, but when it comes to the overcast of nervous paranoia chasing the reader or viewer long after the finishing, the book had the movie beat. The movie's extended use of the book's main point of fear
Spoiler, children dying in horribly gruesome ways and coming back to haunt forevermore,
ended up sucking the life out of the original shock, while the book saved up its cards till the moment was right. This made for a far more full-fledged sense of 'you reap what you sow' that pushed up this reader's evaluation that final half star.

andreiasereia's review against another edition

Go to review page

3.0

An enjoyable time that has me even more eager to read more gothic tales. What really stood out for me though was the audible production! I was mostly indifferent to the 3D sound aspect but what really added to the atmosphere to make it perfectly gothic was the music and the background sounds, the scratching the horses hooves the rustling of fabric the wind blowing the pen scribbling the heart beating, all of it elevated the experience of the story. I really wish more stories were told like this, especially after listening to the adaptation of Carmilla which also did something similar

mitchellkeo's review against another edition

Go to review page

4.0

Honestly, I thought this was a good read! It was definitely creepy at certain parts, and for five pages I found myself frantically reading each word hoping that the next page would yield a sigh of relief. The ending was...anticlimactic, admittedly. And a lot of the time I felt like there was a really good buildup only for it to simmer away before a climax was reached. Actually a book that spooked me and I jumped a bit when my light went out hahaha.

gabi_bird's review against another edition

Go to review page

4.0

I couldn't put it down! The writing style was fantastic. Each word compelled me to read on and I almost managed to finish before I watched the film. The book is very different from the movie, of course, and I enjoyed it much more.

saya85's review against another edition

Go to review page

4.0

http://vivereinunlibro.blogspot.com/2012/02/recensione-la-donna-in-nero.html

laurxn_ellxn's review against another edition

Go to review page

dark medium-paced

2.5

thebadwitch's review against another edition

Go to review page

5.0

fantastic classic gothic ghost story.

veraveruchka's review against another edition

Go to review page

3.0

Kalau ingat Woman in Black, ingat juga suatu hari di mana saya terjebak di Nangor karena pulang kemalaman. Terus ketemu Age di Jatos dan secara impulsif memutuskan untuk nonton bareng.

"Tapi nonton apaan?"
"Gak tau. Naon we lah. Yang serem yuk."
"Sok berani luh."

Dan karena pilihannya antara "Nenek Gayung" dan "Woman in Black"...udah jelas kan ya pilihannya yang mana. Waktu itu nggak tau ini cerita apaan, sempet ketawa-ketawa nggak jelas karena Daniel Radcliffe di otak kami masih Harry Potter banget tapi di film ini kok kayak abah-abah. Namun adegan pertama di film ini sanggup bikin kami teriak-teriak ("JANGAAAN LONCAAAAT!" "BENGAAAAAK!")...yang berlanjut secara random di sepanjang film. That day I cursed more than I've done in my entire life (excluding curses I muttered in Russian/German), and the film remains my favourite horror movie of all time.

Beberapa saat setelah nonton, akhirnya tahu bahwa film itu diangkat dari sebuah novel karya Susan Hill. Langsung janji sama diri sendiri pengen beli. Now here I am, with this book in my clutch. Let's see how this book will turn out, bengak-an mana, versi film apa bukunya.

Setelah baca
Karena ketertarikan nonton film ini diawali oleh terkesannya (atau lebih bener kalau disebut "terpekik-pekik cupu ketakutan") saya pada filmnya, maka maafkan kalau dalam review ini kesannya saya membanding-bandingkan buku dengan filmnya. Juga maafkan kalau ini mungkin terkesan spoilery, walau saya berusaha keras agar tidak seperti itu. Jadi buat anda yang belum (dan berencana untuk )nonton filmnya, saya sarankan untuk berhenti membaca.

Woman in Black berkisah mengenai Arthur Kipps, seorang solicitor (apa ya bahasa Indonesianya, notaris?) muda yang ditugaskan untuk mengurus berkas-berkas milik Alice Drablow, seorang wanita tua penyendiri yang tinggal di Eel Marsh House, Crythin Gifford, desa kecil di pinggiran Inggris. Ternyata dia menemukan bahwa mengurus berkas-berkas Alice Drablow tidak semudah yang dia pikirkan sebelumnya. Bukan karena Alice Drablow memiliki terlalu banyak aset, namun karena kehadiran Woman in Black, sosok wanita misterius yang terusik oleh Arthur serta berbagai kehororan yang menyertainya. Siapakah Woman in Black dan mengapa ia mengganggu Arthur? Apakah Arthur berhasil menyelesaikan tugasnya dengan selamat di Eel Marsh House?

Formula kengerian di Woman in Black sungguh klasik. Rumah tua terpencil yang akan langsung terputus dari peradaban apabila air laut pasang, lengkap dengan kabut yang turun tiba-tiba dan pemakaman tua di dekatnya. Kematian wanita tua eksentrik yang penyendiri, meninggalkan banyak misteri. Kemunculan sosok wanita bercadar hitam misterius, yang setiap kali terlihat, akan ada tumbal nyawa yang jatuh. Yang menambah kemirisan lagi, nyawa yang jatuh itu pastilah anak-anak.

Dengan formula kengerian yang sudah teruji itu, tidak sulit sebenarnya bagi Woman in Black, baik film maupun bukunya, untuk membangkitkan bulu roma. Deskripsi mendetail fisik dan suasana Crythin Gifford (Eel Marsh House khususnya) mampu membangkitkan imajinasi tentang muramnya sebuah desa kecil di Inggris yang berada dalam kondisi mendung dan berkabut secara hampir konstan. Latar yang dibangun sempurna untuk kemunculan fokus utama kengerian : penampakan sang Woman in Black yang meminta tumbal. Namun bagi saya, film Woman in Black lebih melibatkan emosi penontonnya, dibandingkan dengan bukunya. Hal itu terjadi bukan hanya karena faktor film adalah karya audiovisual, sementara kenikmatan buku lebih tergantung pada imajinasi pembacanya, meskipun jelas nuansa warna serta akting di filmnya sangat membantu saya "terpekik-pekik cupu ketakutan."

Terus kalau bukan hanya itu, apa saja?
1. Arthur Kipps di buku sebagian besar diceritakan sebagai seorang solicitor muda yang bermasa depan cerah. Dia adalah salah satu kolega yang diandalkan firmanya, serta memiliki tunangan cantik bernama Stella yang akan dinikahinya. Penugasan Arthur ke Crythin Gifford disambutnya dengan bersemangat, hampir-hampir terasa seperti liburan. Dengan demikian, walaupun cuaca dan suasana Crythin Gifford begitu muram, Arthur di buku langsung mengalihkan perhatian ke hal-hal lain yang 'hangat' dan 'ceria' untuk menghilangkan ketakutannya sendiri. Kadang-kadang, Arthur sangat berhasil sampai ketakutan pembaca ikut menghilang juga.

Di film, Arthur Kipps adalah seorang duda yang ditinggal istrinya, Stella, yang meninggal saat melahirkan anak mereka, Joseph. Kesedihan karena ditinggal istrinya dan harus membesarkan anaknya sendiri ini membuat Arthur kehilangan fokus dalam pekerjaannya. Arthur hampir dipecat jika dia tidak bisa melaksanakan tugasnya di Crythin Gifford dengan baik, sehingga kepergian Arthur ke desa itu sangat terasa suram dan terpaksa. Apa lagi, dia sebenarnya sudah berjanji untuk bermain bersama Joseph seandainya dia tidak pergi bekerja. Gambaran Arthur yang dibayangi kesedihan, dan terus menerus mengecek gambar yang dibuatkan Joseph untuk membuatnya bertahan, jauh terasa lebih simpatik.

2. Kemunculan Woman in Black di film penyebabnya sangat jelas. Dia akan menampakkan diri apabila ada orang yang datang ke Eel Marsh House. Oleh karena itu, penduduk desa sangat tidak ramah pada Arthur saat tahu Arthur datang untuk mengurus berkas aset milik Mrs. Drablow di rumah itu. Pemilik penginapan dan notaris setempat hampir-hampir mengusir Arthur secara terbuka. Sayang, Arthur tidak bisa pulang begitu saja karena pekerjaannya jadi taruhan.

Di buku, kemunculan Woman in Black random banget. Kayaknya dia muncul khusus buat nakut-nakutin Arthur. Walaupun di sini penduduk desa juga nggak mau mendekati Eel Marsh House, mereka tetap bersikap ramah pada Arthur karena...well, Arthur nggak melanggar tabu apa-apa. Dia cuma sial aja.

3.
Spoiler Kemunculan Woman in Black akan diikuti oleh kematian anak-anak di Crythin Gifford. Di film, kematian ini datang secara hampir kontan. Arthur bahkan sempat melihat sendiri kematian beberapa anak, sempat berusaha sekuat tenaga untuk menyelamatkan anak-anak tersebut dan gagal. Hal ini membuat Arthur sangat terpukul, membuatnya tampak makin putus asa seiring berjalannya waktu. Apa lagi dia sendiri punya anak, Joseph, dan dia pasti tidak akan tahan kalau dia kehilangan anaknya. Orang-orang desa makin kasar terhadap Arthur karena mereka tahu pasti kematian anak-anak ini disebabkan oleh ulah Arthur. Arthur benar-benar tertekan oleh keadaan. Di satu sisi dia memang tidak mau datang lagi ke Eel Marsh House dan melihat kematian lebih banyak anak-anak, namun di sisi lain, dia tidak akan bisa membiayai hidup Joseph kalau dia meninggalkan pekerjaan ini. Karena itulah, Arthur menguatkan dirinya untuk memecahkan misteri Woman in Black. Mencari tahu apa maunya hantu wanita itu sehingga jiwanya bisa menjadi damai.

Walaupun tentu saja bermalam di Eel Marsh House dan ngeliat Woman in Black adalah pengalaman menyeramkan, Arthur di buku lebih cupu daripada Arthur di film. Dia tidak terdorong untuk memecahkan misteri Woman in Black, latar belakang Woman in Black ditemukannya secara hampir tidak sengaja. Kematian anak-anak di buku...well, katakan saja tidak semencekam penggambaran di film. Lagipula Arthur belum punya anak, sehingga kejadian itu tidak mengguncang kondisi psikologisnya sekuat di film. Plus, kemunculan Woman in Black yang random membuat Arthur tidak begitu merasa bertanggung jawab. Beda banget sama Arthur di film yang tahu pasti kedatangannya di Eel Marsh House lah yang memicu kemunculan Woman in Black dan membuat anak-anak itu mati. "Anak-anak itu mati karena gue...gue melihat Woman in Black. Eh tapi nggak deng, gue nggak ngapa-ngapain selain...apaan, naik sepeda, jalan-jalan sama anjing, ngobrol-ngobrol soal cuaca! Kenapa Woman in Black hanya muncul di depan gue deh? Kenapa nggak muncul random di depan orang lain aja?" protes Arthur di buku. Eh, iya juga sih.


Overall, buku ini lumayan bikin merinding. Kenyataan bahwa penampakan rumah saya sedikit mirip penggambaran Eel Marsh House, ditambah mendung menggantung saat saya membacanya, sama sekali nggak membantu menghilangkan rindingan itu. Hanya saja, di buku, pemeran utama tidak memiliki keterlibatan emosional dengan peristiwa di Crythin Gifford sedalam yang digambarkan di film. Ujung-ujungnya, kita sebagai pembaca juga nggak begitu terlibat. Di beberapa bagian, deskripsinya terlalu ceria. Kasian aja, karena sebelumnya penulis udah susah payah membangun suasana biar mencekam. Jadi, buku ini cocok banget buat orang-orang yang ingin baca buku horor tapi nggak mau terlalu ketakutan.

Buat orang-orang yang mau dibikin kaget, ngeri, teriak-teriak...serius deh, tinggalkan aja bukunya dan pergi nonton filmnya.

wordsuponwords's review against another edition

Go to review page

dark emotional mysterious sad tense medium-paced
  • Plot- or character-driven? Character
  • Strong character development? Yes
  • Loveable characters? Yes
  • Diverse cast of characters? No
  • Flaws of characters a main focus? Yes

5.0