Scan barcode
tsamarah's reviews
76 reviews
- Plot- or character-driven? A mix
- Strong character development? Yes
- Loveable characters? Yes
- Diverse cast of characters? Yes
- Flaws of characters a main focus? Yes
4.0
Moderate: Bullying and Terminal illness
- Plot- or character-driven? A mix
- Strong character development? Yes
- Loveable characters? Yes
- Diverse cast of characters? Yes
- Flaws of characters a main focus? Yes
4.5
Moderate: Bullying and Terminal illness
- Plot- or character-driven? A mix
- Strong character development? No
- Loveable characters? No
- Diverse cast of characters? No
- Flaws of characters a main focus? Yes
2.0
This book has everything to adore in romantic comedies: predictable enough to follow, but it has a flair of campiness and sappiness that you would see in the 2000s era of this genre. Overall, we can say that Lynn Painter has it down to the T in constructing the story to appeal to all light romance lovers, including me, which is why I had high hopes that it delivered as much as it promised through the hype. I do admit that she does deliver in certain parts, but the rest... well.
I have said it many times, but let me say it once more: the charm of predictable plots relies on the construction. We have read books with the same tropes and witnessed characters who embody similar stereotypes. Not to mention, romantic comedies like these require characters who are equally relatable and dreamlike since characters are the true gear in moving the plot as it goes. So, if the writing on characters is shit, the same goes for the story.
Correlating to Better Than the Movies, characters are my issue from fully enjoying the book. As a protagonist, Liz Buxbaum is half-assed in execution; Painter wants to illustrate her character as someone who manifests the traits of a manic pixie dream girl—a feat that Painter does succeed at the beginning of the story, displaying her quirks as someone who is obsessed with romantic comedy films that she transforms the characteristics of that genre into her entire personality. However, with no proper development in her characterization aside from her long-extended grief of her mom's death, her personality turns bland very quickly. She has nothing to offer aside from the preppy, film-referencing self, and her limited scope of perspective rapidly turns her into an annoying person who is only thinking about herself, lacks empathy, and is quick to judge someone based on the stereotypical notions she has attributed from the films she watches.
So, forgive me for thinking how it is miraculous that she has friends like Laney or someone who likes her that way like Wes.
Before we skip to Wes, let's talk about Michael Young first. I have to admit that he has charisma as both a jock and a nerd, and I have a feeling that Painter intentionally avoids writing the main male characters as assholes with no feelings for her young adult novels. However, he comes off as being too straight-laced and too over his head to be interesting, too preoccupied with everything else other than Liz. As a romantic interest, he also comes off as passive-aggressive in his characterization. He cannot even form a solid decision in his mind about his feelings, which, unfortunately, does make him look like an asshole in the end because he strings a girl along. I wonder how and why Liz is that blind not to understand his interest in her is so fleeting that it hurts. It could've saved a lot of time.
Moving on to Wes himself, I find him to be a standout character in this book. He's your everyday male teenager: handsome, playful, and a bit annoying. He embodies the "pulling pigtails" trope with the girl he likes without being overly offensive with his actions. What I find surprising is that he is decently wise in his words and actions, he knows where to properly position himself even in situations that are not favorable, not acting overly aggressive or pushy even when he disagrees with the condition. And the best part about his personality is that it is his true character, not a personality he curates solely to be liked by the girl he loves.
Laney and Helena are my favorite side characters in this novel. Both share the blunt nature in their characters, still thoughtful and generally friendly among their loved ones. They are the other logical and fairly perceptive characters aside from Wes. It is why these two and Wes are the particular good things in this novel.
The drastic difference in their personalities is the reason why I don't find the idea of Liz and Wes being together incredibly appealing; Liz is too distracted with her problems, even after she's settled things with her long-time grief over her mother's death, and Wes is too immersed in thinking about the others to even think about himself. It will just end up in disaster soon.
In short, do I find Better Than the Movies good? In my personal opinion, it's definitely a no for me. I have read books with better execution of this trope, so I don't find it to be urgent for me to read the sequel of this book or read other books by this author. However, I will not say that I won't recommend it because I understand there are people who might find this book and its characters to be right up their alley.
Moderate: Bullying, Grief, Car accident, and Death of parent
- Plot- or character-driven? Plot
- Strong character development? No
- Loveable characters? No
- Diverse cast of characters? Yes
- Flaws of characters a main focus? No
4.0
Moderate: Cursing and Violence
Minor: Child abuse, Emotional abuse, and Abandonment
- Plot- or character-driven? A mix
- Strong character development? No
- Loveable characters? It's complicated
- Diverse cast of characters? Yes
- Flaws of characters a main focus? Yes
4.5
Moderate: Cursing and Violence
Minor: Child abuse, Emotional abuse, and Abandonment
- Plot- or character-driven? A mix
- Strong character development? Yes
- Loveable characters? Yes
- Diverse cast of characters? Yes
- Flaws of characters a main focus? Yes
4.0
Moderate: Bullying and Terminal illness
- Plot- or character-driven? Plot
- Strong character development? No
- Loveable characters? No
- Diverse cast of characters? Yes
- Flaws of characters a main focus? No
3.0
Kisah pendek ini menjelajahi tantangan seorang perempuan di kehidupan masyarakat modern, khususnya mengenai kehati-hatian dalam menjalin sebuah hubungan sosial bagi perempuan. Pembaca dapat melihat bagaimana perkembangan komunikasi dan status sang Perempuan Rok Ungu, namun satu hal yang menjadi ironi yang sepertinya secara intensional ditunjukkan oleh penulis adalah mentalitas sang karakter yang tidak berkembang sama sekali di tengah hidupnya yang terkesan membaik—Perempuan Rok Ungu secara konsisten menampakkan karakter yang baik, tetapi sangat lugu dan mudah percaya dengan orang lain tanpa memikirkan mana yang baik dan buruk.
Jika dilihat, sikap naif sang perempuan mungkin terdengar aneh karena tidak mungkin ada seseorang yang sebegitunya tidak memahami petunjuk sosial. Namun nyatanya, sosok Perempuan Rok Ungu ini juga merupakan refleksi atas manusia-manusia yang memiliki pengalaman atau kepribadian yang serupa dengan sang karakter utama. Oleh karena itu, Imamura seperti ingin menyampaikan pesan bahwa ada pentingnya bagi manusia untuk tetap memiliki kehidupan sosial yang baik, setidaknya untuk menjaga diri sendiri dan membawa pendirian yang teguh di kalangan masyarakat.
Hal yang sama juga terlihat dari bagaimana Perempuan Kardigan Kuning bersikap sebagai narator cerita; posisinya yang terkesan unreliable (tidak dapat dipercaya) dengan kerap kali menunjukkan obsesinya terhadap Perempuan Rok Ungu adalah sebuah contoh seseorang yang juga kurang mampu memahami petunjuk sosial dan membedakan tingkah laku yang benar dan salah. Menariknya, posisi sang narator yang rancu ini mengundang sebuah ketertarikan dan rasa penasaran atas maksud tujuannya dalam "mengobservasi" Perempuan Rok Ungu: apakah Kardigan Kuning memiliki hasrat terpendam bagi si karakter utama, memiliki kekaguman yang berlebih, atau berkeinginan menjadi si karakter?
Sayangnya, walaupun buku tersebut memiliki tema yang kompleks dan relevan, gaya penulisan Imamura kurang mampu mendukung penyampaian tema yang ada. Pengembangan cerita kurang memiliki detil yang jelas sehingga terlihat adanya celah antara satu adegan dengan adegan berikutnya, menjadikan alur cerita tersebut terkesan tergesa-gesa tanpa arah menentu. Hal ini juga memengaruhi bagaimana konklusi cerita dibentuk—tujuan penulis untuk menutup cerita dalam atmosfer ambigu yang mendorong pembaca menerka keadaan Perempuan Rok Ungu dan posisi Perempuan Kardigan Kuning di akhir cerita tersebut juga tidak terlalu tersampaikan dengan baik.
Pada akhirnya, jika ditanyakan apakah Perempuan Rok Ungu dapat direkomendasikan? Saya sendiri tidak bisa menentukan jawaban yang konkret; di sisi lain, saya akan merekomendasikan novel ini bagi penggemar karya penulis Jepang, terutama penulis perempuan atau cerita yang memiliki kehidupan perempuan sebagai topik utama. Tapi di sisi lain, saya merasa novel ini kurang direkomendasikan atas dasar penulisan yang tidak terlalu kukuh. Untuk novella ini, saya kembalikan lagi ke rasa ketertarikan pembaca masing-masing.
Graphic: Violence, Stalking, and Sexual harassment
- Plot- or character-driven? Plot
- Strong character development? No
- Loveable characters? No
- Diverse cast of characters? Yes
- Flaws of characters a main focus? No
4.0
Terdapat sejumlah 18 cerita dalam novella kecil ini, terbagi menjadi 11 cerita dengan judul bab yang dimulai dari kata "Buku", kemudian dilanjutkan oleh 7 cerita dengan judul bab yang sepertinya adalah referensi dari bahasa Rusia. Kisah dengan judul "Buku" adalah kisah-kisah yang terjadi di masa lampau, menitikberatkan kepada contoh-contoh kehidupan kemasyarakatan dan kemanusiaan pada masa itu, yang ditulis seolah sebagai sebuah sejarah yang membentuk kehidupan sosial sang narator pada masanya. Lain halnya dengan 7 cerita selanjutnya, di mana sang narator mulai mengolah informasi yang didapatkan dari jurnal-jurnal yang ia temukan itu terhadap kehidupannya, orang-orang di sekitarnya, serta para penguasa yang mengatur hidupnya.
Jika membicarakan isi buku itu sendiri, Ziggy memusatkan keseluruhan cerita dalam satu kesatuan tema mengenai perempuan; bagaimana perempuan bergaul, bagaimana perempuan berkarier, hidup, dan terlebih lagi, diperlakukan oleh masyarakat. Dengan begitu, Ziggy membuka suatu ironi yang berkesinambungan antara masa lalu dan masa depan, bahwa dengan sebegitu hebatnya perkembangan masyarakat, perlakuan terhadap perempuan tetap tidak berubah dalam hal merendahkan posisinya sampai kematian mereka justru adalah “pengampunan” yang terbaik untuk menyelamatkan mereka.
Gaya penulisan Ziggy yang konsisten dalam penggunaan majas dan alusi dalam penggambaran suatu cerita mendorong pembaca untuk menerka inti kisah tersebut sebelum berakhir—Ziggy kerap kali mengungkap kebenarannya di akhir bab atau cerita—tanpa mengorbankan kejelasan cerita sehingga pembaca masih mampu memahami alur yang tampil dalam setiap paragrafnya.
Bukan Ziggy jika tidak menulis ceritanya dengan bumbu eksplisitasi yang terkesan seronok dan gamblang, tetapi, perbedaan antara Tiga dalam Kayu dengan karyanya yang lain seperti Semua Ikan di Langit atau Kapan Nanti, buku ini memiliki tingkat eksplisitasi yang mungkin dapat dibilang paling brutal—terkesan sangat keterlaluan tanpa ada sensor mumpuni. Namun demikian, gaya penulisan ini yang menjadi unsur yang unik dalam novel tersebut, mendukung struktur cerita yang dibentuk sebagai “jurnal sejarah” tanpa ada hal-hal yang ditutupi. Sehingga, maksud cerita dapat tersampaikan dengan baik kepada pembaca.
Walaupun gaya penulisan Ziggy yang “mendayu” masih dapat dipahami oleh pembaca, tetap ada beberapa bagian cerita yang kurang diolah dan dikembangan dengan baik sehingga penggalan kisah tersebut terkesan mengambang dan kurang sesuai dengan atmosfer keseluruhan buku.
Lalu, bagaimana buku tersebut secara keseluruhan? Tiga dalam Kayu mungkin bukan buku yang dapat dibaca terus menerus, tetapi merupakan suatu bacaan yang perlu ditelisik sekali seumur hidup, terutama ketika cerita-cerita yang diberikan memiliki relevansi yang tinggi terhadap realita yang ada. Walaupun begitu, perlu adanya kesiapan mental yang cukup mengingat gaya penulisan Ziggy yang terbuka dan kerap kali “bengis”, yang mungkin tidak cocok bagi beberapa pembaca yang condong terhadap bacaan yang ringan.
Graphic: Death, Gore, Misogyny, Physical abuse, Sexism, Sexual assault, Sexual violence, Violence, and Blood
- Plot- or character-driven? A mix
- Strong character development? Yes
- Loveable characters? Yes
- Diverse cast of characters? Yes
- Flaws of characters a main focus? Yes
4.0
Moderate: Bullying and Terminal illness
- Plot- or character-driven? Plot
- Strong character development? No
- Loveable characters? No
- Diverse cast of characters? Yes
- Flaws of characters a main focus? No
3.0
Membaca novel Malice setelah usai menelaah Keajaiban Toko Kelontong Namiya merupakan sebuah kejutan tersendiri; tidak hanya kategori genre kedua novel tersebut yang tidak sama, namun juga gaya penulisan Higashino yang jauh berbeda, seolah kedua karya tersebut dibuat oleh dua orang yang berbeda—bahkan ciri khas penulisan, yang biasanya cukup mudah untuk dikenali dari penulis yang sudah menerbitkan banyak karya, cukup sulit atau justru tidak terlihat. Secara objektif, ketiadaan ciri khas penulisan dapat menjadi sebuah petualangan sendiri karena jarang sekali ada penulis yang mampu menjadi “bunglon” dan berani menulis dengan gaya berbeda-beda sesuai dengan genrenya, walaupun hal tersebut dapat berbalik ke dirinya sendiri apabila eksperimen tersebut gagal untuk menyampaikan inti cerita kepada audiens yang dimaksud. Lalu, bagaimana dengan Malice ini sendiri?
Dalam membangun narasi, Higashino tidak menitikberatkan kepada penemuan dalang kasus, tapi mengutamakan pembongkaran motif dan tahapannya. Hal ini terlihat dari bagaimana dialog antara salah satu karakter dengan Detektif Kaga ketika ditunjuknya karakter tersebut sebagai pelaku: tidak ada juga perlawanan yang berarti, seolah telah memiliki ekspektasi bahwa dirinya akan ditangkap, namun resistensi yang keras terjadi ketika Detektif Kaga mulai menyampaikan hipotesis motif kasus kepada sang pelaku.
Penulisan karya misteri seperti ini sesungguhnya bukan sesuatu yang jarang sekali terjadi—apabila mengikuti komik jepang Detective Conan, misalnya, pasti menemukan beberapa episode yang menggunakan struktur serupa—tetapi, penulisan ini setidaknya bukan alur kisah misteri detektif yang banyak digemari. Tidak jarang alur seperti ini, di mana pelaku telah diketahui di awal kisah dan narasi selanjutnya lebih banyak fokus untuk menilik sebab-akibatnya, dianggap membosankan dan mengurangi rasa “thrill” karena minimnya elemen kejutan atau plot twist yang diharapkan menguak dalam novel seperti Malice tersebut.
Meskipun asumsi ini tidak selamanya benar dan terjadi dalam novel misteri, namun dapat dikatakan bahwa anggapan ini cukup berlaku dalam pembawaan cerita pada novel Malice tersebut. Pada awal pengungkapan pelaku, Higashino masih mampu mempertahankan alur dan atensi dengan erat, membangun berbagai pertanyaan mengenai motif yang masih diliputi misteri. Tetapi, mulai dari pertengahan hingga akhir cerita, atmosfer yang dibangun menjadi menurun, sehingga alur menjadi stagnan dan membosankan dengan beberapa adegan yang dinilai cukup repetitif dan tidak ada perkembangan yang signifikan. Sehingga, ketika pada akhirnya segala latar belakangnya terbongkar, momen tersebut terasa antiklimaks seperti telah hilang momentum.
Mungkin jika ditelaah lebih lanjut, kekurangan ini bertumpu pada karakter Nonoguchi Osamu yang kurang memberikan impresi yang sempurna sebagai karakter tersangka dalam novel tersebut. Sebetulnya, karakter seperti Nonoguchi—dalam halnya karakter yang memiliki perawakan publik yang baik namun menyimpan kegelapan mendalam tersendiri, atau si stereotip “nice guy”, bukan sesuatu yang unik, tetapi dalam penggambarannya, kerap kali ada pertanda atau foreshadowing mengenai sisi kelam sang karakter yang kemudian menjadi klimaks dari cerita tersebut. Hal ini tidak terlihat dalam ilustrasi Nonoguchi, bahkan dengan adanya titik berat uraian tentang Nonoguchi yang bertujuan untuk menggambarkan dirinya sebagai “korban keadaan” atas kasus yang ia perbuat. Sehingga, maksud jahat yang didasari kedengkian dan kebencian yang ingin dikatakan oleh Higashino sesuai dengan judul novel tersebut (malice) tidak tersampaikan dengan baik, dan Nonoguchi sendiri pada akhirnya hanya sebatas karakter menyedihkan dan tidak terlalu bermakna untuk diberikan simpati atau rasa kesal.
Sama halnya dengan penggambaran tentang Hidaka Kunihiko sebagai korban; segala deskripsi tidak menguraikan kepribadian karakter secara detil, dan kurang lebih mengarah ke sosok yang nampak negatif. Alih-alih, konklusi mengenai karakter tersebut mendadak berubah menjadi lebih positif dan baik pada akhir cerita—di mana jembatan yang menghubung antar benang merah cerita tentang karakter ini? Padahal, dengan adanya dua suara yang berbeda yang menyetir novel tersebut, Higashino dapat membuat kontradiksi yang lugas dari sisi Nonoguchi dengan sisi Detektif Kaga atas penggambaran sosok Hidaka. Namun, hal ini kurang diasah dan dijelajah oleh Higashino.
Lalu, apakah Malice dapat direkomendasikan untuk dibaca? Bagi saya sendiri, walaupun dengan kekurangan yang ada dari segi plotting, cerita yang disuguhkan sesungguhnya menarik dan masih dapat dianggap sebagai novel bergenre misteri detektif yang layak dibaca dan dinikmati. Dan jika ingin mengeksplorasi lebih jauh tentang karya-karya Higashino sendiri, saya beranggapan novel ini memang betul merupakan salah satu yang esensial untuk mengenal tulisan beliau.
Moderate: Animal cruelty, Animal death, Death, and Car accident
Minor: Infidelity, Rape, and Sexual assault