❝ If you fall into a pit, you can climb out, but once you slip from a sheer cliff, you cannot step firmly into a new life again. The only thing that can stop you from falling is the moment of your death. But nonetheless you have to keep living until you die, so there was nothing to do but continue working diligently for your reward. ❞
This was such a heartbreakingly exquisite book. I didn’t expect this book would talk about a man working life in Japan, because I thought this book would be just typical of Japanese-lit ( you know what I mean, aight? aight. ), but turned out, this book evolved into a variety of problems as an outcome of the rapid rise of construction in Tokyo and its Japan history, including homelessness in Ueno Station. Not just that, the story revolves around a poetic ghost tale in Tokyo as well. Everything was wrapped very well and to make the readers easily feel the emotions through the story, the emotions beat perfectly well.
Talking about the main character in this book; my heart whacked for him. I acknowledge that each person in this world lives a different life to one another but sometimes it’s not equitable. He kept experiencing negative emotions to the point that sometimes he found it hard to feel everything, he felt that his life didn’t belong with everyone around him; his family to be precise. Also, it breaks my heart when he compares his life with the emperor of Japan, he thought that their life were different in every situation; it breaks me even more when he compares the Prince with his dead son. *sobs*
Overall, I admire the literary style in this book; it's vigorous and imaginative while remaining comfortable to read. A tragic story, but one that is equally humanising and empathetic to its characters.
Massively thank you to NetGalley and Sourcebooks Landmark for the e-ARC. I can honestly; safely; say that I truly enjoyed this book even though it took more or less five days for me to complete this book. This is my second book by Audrey Blake and I do not regret my decision to request the e-arc of this book. One thing that I always loved about Audrey Blake’s writing is they always wrote everything so perfectly in very specific details, it must have been hard to write something about WWII but they nailed it, I couldn’t put this book down.
I love how this book follows the life of a woman; a mother; who separated from her family, especially her husband. She decided to get involved in the war because she just felt left behind in the war effort. This book surprised me when I found out that Yvonne Rudellat is a real person ( Britain’s first female sabotage agent ); knowing that this book takes on a different perspective and how it’s partly biographical of real characters. I guarantee everything in this book was so perfectly mesmerising; strong female character, an excellent narrative, and this book filled with excitement and a page-turner throughout.
One thing that confused me was that in this book there are several points of view, and without warning the change in POV makes me a bit confused. Although, this story is told in a dual timeline.
This book comes out on March 12, 2024, so mark your calendars!
❝ If you base your self-worth on what everyone else thinks of you, you hand all your power over to other people and become dependent on a source outside of yourself for validation. Then you wind up chasing after something you have no control over, and should that something suddenly place its focus somewhere else, or change its mind and decide you’re no longer very interesting, you end up with a full-blown identity crisis. ❞
I always believe that some books need to be read at a very specific moment or simply when your mood supports it; this book is one of them. When I picked this book I somehow needed some kind of motivation such as, and this book gave me the law of attraction energy, and positivity. This book surprisingly helps me, even tho some words are actually not something new and you can thoroughly find them on the Internet but it still helps me tho.
❝ Jika ada sesuatu yang membinasakan sekaligus menghidupkan, dia adalah Cinta. ❞
Tidak lain dan tidak bukan, tentu saja iming-iming “Fiksi Sejarah” berhasil menarik perhatian saya untuk membaca buku ini. Selain itu, membaca buku ini di saat bertepatan dengan bulan September. Mengapa demikian? Buku ini bercerita mengenai peristiwa huru-hara di Indonesia pada Mei 1998. Salah satu hal yang membuat saya kagum adalah bagaimana penulis berhasil memberikan sesuati yang berbeda dalam buku ini. Maksud saya, rasanya jarang sekali penulis yang menceritakan suatu kejadian bersejarah namun dengan penyajian sebagai “seseorang yang melintasi zaman” namun dalam buku ini, berhasil menyajikan hal tersebut.
Tetapi, dikarenakan dalam buku ini terdapat dua generasi yang berbeda hingga akhirnya memberikan kesan cerita dengan alur yang maju-mundur, sayangnya hal tersebut sempat beberapa kali membuat saya sebagai pembaca merasa bingung. Selain itu, saya juga dibuat bingung oleh beberapa kalimat yang terkesan memaksa karena penempatan beberapa kalimat tersebut terasa kurang tepat bahkan kesalahan dalam penulisan yang cukup mengganggu.
❝ Tumbuh dewasa rasanya seperti itu. Waktu masih kecil, semua orang perhatian. Tapi, begitu dewasa, sedikit demi sedikit, kamu hilang dari pandangan. Makannya, orang dewasa pakai make-up, berdandan rapi, pakai baju bagus ... Karena kalau ngga, ngga akan ada yang melihat mereka. Penampilan, bagi orang dewasa, itu seperti baju untuk manusia transparan —membuat orang sadar kalau mereka ada. Karena biasanya, di dunia orang dewasa, orang-orang ngga punya cukup perhatian untuk menunggu kamu bicara dan bilang kalau kamu ada. ❞
Saat pertama kali memutuskan untuk membaca buku ini karena hampir semua teman-teman saya telah membacanya, sehingga ekspetasi terhadap buku ini bisa dikatakan cukup tinggi. Secara keseluruhan, Jakarta Sebelum Pagi memberikan kesan yang bisa mudah dipahami. Maksud saya, keseharian Emina ( si tokoh utama ) rasanya tidak begitu berbeda dengan keseharian saya sebagai pembaca sehingga cukup dengan mudah bagi saya menempatkan posisi sebagai Emina. Melalui buku ini pun, saya berkenalan dengan gaya penulisan Ziggy yang terkesan out of the box namun bisa dengan mudah dipahami oleh pembaca ( jika dibaca berulang-ulang. ) Keseharian hidup Emina sebagai budak korporat yang dikelilingi oleh orang sekitarnya yang tidak jauh berbeda dengannya, namun memiliki latar kehidupan yang berbeda, rasanya menarik untuk diikuti. Ditambah dengan bumbu misteri bagaimana Emina berusaha mencari stalker yang terus menguntit kehidupannya. Semuanya terasa begitu realistis.
Namun, cukup disayangkan, seperti yang telah disebutkan bahwa saya masih belum familiar dengan gaya penulisan Ziggy, hingga rasanya gaya penulisan dalam buku ini cukup rumit dan runyam. Beberapa kalimat terkesan bertele-tele dan membingungkan, meskipun mungkin itu adalah daya tariknya.
❝ None of this has any meaning. Everyone just does what they want. They have these urges, so they try to satisfy them. Nothing’s good or bad. There was something they wanted to do, and they had the chance to do it. Same goes for you. ❞
Oh, my goodness! I literally lost my words as I finished this novel. I mean, this book left me with conflicting emotions, and I'm at a loss because of it. But, shockingly, this novel gave me the impression that I was finally seeing the light at the end—cliche, isn't it? I wouldn't recommend this book, but read at your own risk because the graphic bullying was so horrible and unbearable. And yes, this book leaves me bitterly heart-wrenched by the end.
I’d say that I am so obsessed with this book— even since the first moment I read this book, I was so infatuated by this book. This book is just typical of the rich dysfunctional family that has tragic summers on their private island, such a perfect book to read during Summer. But, the first pages felt vague and confusing, probably because there are so many characters that need to be introduced. I mean, the author really throws a lot of family members at all once and I was truthfully confused about who the main character was until about two or three chapters in.
But still, I love how the ending of this book surprised me and blew away my expectations. I truly recommend this book to those who enjoy reading mystery books with hard-hitting finales. I guarantee you can easily thrown away by how great this book was.
Sakit. Iya, salah satu perasaan yang paling mendominasi setelah saya menyelesaikan buku ini. Mungkin jika dilihat dan melirik sampul buku secara sekilas, akan muncul anggapan bahwa buku ini begitu memberikan kesan yang ceria. Namun, ketika membaca prolog pun, ekspetasi saya terpatahkan. Ini merupakan karya Faisal Oddang pertama yang saya baca dan berhasil membuat saya tertarik untuk membaca karya Beliau selanjutnya. Semua dalam buku ini telah berhasil dikemas dengan sempurna; Pengkhianatan, Dendam, Amarah, dan bahkan Penyiksaan yang berakhir dengan kematian— dikemas dengan begitu sempurna. Seperti yang saya katakan sebelumnya, rasa sakit sangat mendominasi perasaan saya kala membaca buku ini.
Akan tetapi, di samping betapa menyakitkannya buku ini, saya akhirnya menyadari bahwa kebudayaan Indonesia ternyata memang begitu mempesona. Dalam hal ini, Faisal Oddang membahas mengenai kebudayaan Sulawesi Selatan khususnya Suku Bugis. Hingga akhirnya meninggalkan kesan yang cukup menakjubkan bahwa ternyata masih banyak budaya di Indonesia yang belum saya ketahui. Sehingga, meskipun selama membaca memberikan kesan tidak nyaman namun pembahasan mengenai pengetahuan kebudayaan berhasil membuat saya terpukau. Selain itu, selain membahas mengenai kebudayaan Indonesia Timur, buku ini pun membahas mengenai DI/TII, Pergerakan Anti-Jawa, hingga Gerilya. Karena itu, saya rasa untuk dapat mengetahui lebih lanjut mengenai kejadiaan dalam buku kala itu, akan lebih jelas jika pembaca mencari tahu mengenai informasi yang terjadi pada tahun 1950-1965. Mengingat latar tahun dalam buku ini pada tahun tersebut, bahkan saya sendiri pun beberapa kali mencari informasi tentang itu selama membaca buku ini.
Namun, cukup disayangkan, meskipun dalam buku ini semuanya diceritakan dengan begitu apik tetapi saya menemukan beberapa kesalahan dalam penulisan yang menurut saya cukup mengganggu. Meskipun demikian, hal itu tidak terlalu mempengaruhi kenyamanan selama membaca, tetapi tetap saja ada perasaan mengganggu.
❝ Kurasa orang-orang dewasa terlalu sulit dipahami. Mereka membuat aturan-aturan yang kadang tak adil sama sekali. Bagaimana bisa, kami yang lahir secara utuh membawa badan dan pikiran kami sendiri selalu dinilai sebagai jelmaan orangtua kami. Kami manusia baru yang punya kehidupan baru dan pilihan yang baru. Kami tidak lahir membawa dosa ataupun kesalahan mereka di masa lalu. Seharusnya, kami tak dihakimi atas apa yang pernah mereka lakukan. ❞
Jujur, kalau bisa dikata, harapan saya untuk buku ini cukup tinggi. Hal tersebut didukung dengan premis untuk cerita ini; bagaimana penulis memaparkan cerita mengenai Tragedi Ninja di Banyuwangi saat itu, hingga mengenai kisah sejarah yang ditawarkan. Sebagai seseorang yang lebih tertarik mengenai cerita sejarah, di pertengahan buku ini ternyata cukup mengecewakan. Bahkan selama membaca, ntah berapa kali saya bolak-balik membuka kanal berita hanya karena penasaran untuk memastikan bagaimana kisah yang sebetulnya terjadi. Dalam buku ini, banyak sekali kisah yang terkesan menggantung dan kosong.
Karena hal pertama yang membuat saya penasaran dan tertarik itu karena iming-iming “fiksi sejarah” namun ternyata sebagian cerita mengenai kisah kehidupan Sari. Mungkin hal ini bisa dipahami, mengingat Sari sendiri anak dari korban Tragedi Ninja ini. Tetapi, untuk saya yang memilih buku ini karena kisah sejarah yang ditawarkan, berakhir dengan perasaan yang cukup tidak puas dengan cerita yang disajikan. Oleh sebab itu, rasanya judul buku dengan “Perempuan Bersampur Merah” terasa kurang tepat untuk buku ini. Selebihnya, dengan alur yang maju mundur disertai diksi yang mudah dipahami, buku ini bisa menjadi pilihan.